BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam kajian filsafat
pendidikan Islam, ada beberapa tokoh muslim yang sangat berjasa dalam
pengembangan/pembaharuan pemikiran pendidikan Islam, khususnya dari para
filosof Muslim, seperti al-Farabi, Al-Ghazali, Ibn Khaldun, Ikhwan al-Shafa,
dan lain sebagainya. Ikhwan al-Shafa adalah salah satu organisasi yang
didirikan oleh sekelompok masyarakat yang terdiri dari para filosuf. Sebagai
perkumpulan atau organisasi yang bersifat rahasia, Ikhwan al-Shafa menfokuskan
perhatiannya pada bidang dakwah dan pendidikan. Organisasi ini juga mengajarkan
tentang dasar-dasar Islam yang didasarkan oleh persaudaraan Islamiyah (ukhuwah
Islamiyah), yaitu sikap yang memandang iman seseorang muslim tidak akan
sempurna kecuali ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri. Hal
ini berdasarkan sebuah hadis:
لاَ يُؤْمِنُ
اَحَدُكُمْ حَتَى يُحِبَّ أَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
Ikhwan al-Shafa muncul
setelah wafatnya al-Farabi. Kelompok ini telah berhasil menghimpun pemikirannya
dalam sebuah ensiklopedi tentang ilmu pengetahuan dan filsafat yang dikenal
dengan “Rasail Ikhwan al-Shafa”. Identitas pemuka mereka tidak terang karena
mereka bersama anggota mereka memang merahasiakan diri. Sebagai kelompok
rahasia, Ikhwan al-Shafa dalam merekut anggota baru dilakukan lewat hubungan
perorangan dan dilakukan oleh orang-orang yang terpercaya.
Dalam makalah ini akan
sedikit menyibak tirai rahasia yang disimpan Ikhwan al-Shafa sebagai salah satu
organisasi militan yang lebih suka merahasiakan dirinya. Melalui karya
monumental, Rasail Ikhwan al-Shafa, kita mencoba mencari jejak-jejak
pemikiran Ikhwan al-Shafa yang tertinggal untuk dicari hikmah dan pelajaran.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana riwayat singkat Ikhwan al-Shafa?
2. Bagaimana konsep pemikiran Ikhwan al-Shafa tentang pendidikan?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Riwayat Singkat Ikhwan al-Shafa
Ikhwan al-Shafa’
(Persaudaraan Suci) adalah nama kelompok pemikir Islam yang bergerak secara
rahasia dari sekte Syi’ah Ismailiyah yang lahir pada abad ke 4 H (10 M) di
Basrah. Kelompok ini juga menamakan dirinya Khulan al-Wafa’, Ahl al-Adl, dan
Abna’ al-Hamd. Salah satu ajaran Ikwan al-Shafa adalah paham taqiyah
(menyembunyikan keyakinan), paham taqiyah ini disebabkan basis kegiatannya
berada ditengah-tengah masyarakat sunni yang notabene adalah lawan ideologi
dari Ikhwan al-Shafa’ (Syi’ah). Kerahasiaan kelompok ini juga disebabkan oleh
dukungan mereka terhadap faham mu’tazilah yang telah dihapuskan dari madzhab negara
oleh khalifah Abbasiyah al-Mutawakkil (sekte sunni), maka kaum rasionalis
dicopot dari jabatan pemerintahan kemudian diusir dari Baghdad.
Berikutnya penguasa
melarang mengajarkan kesusastraan, ilmu, dan filsafat. Kondisi yang tidak
kondusif ini berlanjut pada khalifah-khalifah sesudahnya. Berdasarkan
permasalahan itulah kelompok ini selain bergerak di bidang keilmuan juga
bertendensi politik.
Pada masa khilafah
Abbasiyah dikuasai Dinasti Salajikah yang berpaham sunni, gerakan kelompok ini
dinilai mengganggu stabilitas keamanan dan ajaran-ajarannya dipandang sesat.
Maka pada tahun 1150, Khalifah Al-Muntazid menginstruksikan agar seluruh karya
filsafat Ikhwán dibakar. Hal ini disebabkan karena perbedaan ideologi antara
penguasa Dinasti Salajikah yang Sunni dengan kelompok Ikhwan al-Shafa yang
Syiah.
Ikhwan al-Shafa’
merupakan gerakan yang mempertahankan semangat berfilsafat khususnya dan
pemikiran rasional umumnya. Tokoh terkemuka kelompok ini adalah Ahmad ibnu Abd
Allah, Abu Sulaiman Muhammad Ibnu Nashr al-Busti yang terkenal dengan sebutan
al-Muqaddasi, Zaid ibn Rifa’ah selaku ketua dan Abu al-Hasan Ali ibnu Harun
al-Zanjany.
Lahirnya Ikhwan
al-shafa’ adalah ingin menyelamatkan masyarakat dan mendekatkannya pada jalan
kebahagiaan yang diridhai Allah. Menurut mereka, syariat telah dinodai
bermacam-macam kejahiliyahan dan dilumuri keanekaragaman kesesatan.
Satu-satunya jalan untuk membersihkannya adalah filsafat.
Dalam kelompok ini ada
empat tingkatan anggota sebagai berikut:
1. Ikhwan al-Abrar al-Ruhama, kelompok yang
berusia 15-30 tahun yang memiliki jiwa yang suci dan pikiran yang kuat. Mereka
berstatus murid, karenanya dituntut tunduk dan patuh secara sempurna kepada
guru.
2. Ikhwan al-Akhyar wa al-Fudhala, yakni
kelompok yang berusia 30-40 tahun. Pada tingkat ini mereka sudah mampu
memelihara persaudaraan, pemurah, kasih sayang, dan siap berkorban demi
persaudaraan (tingkat guru-guru).
3. Ikhwan al-Fudhala al-Kiram, yakni kelompok
yang berusia 40-50 tahun. Dalam kenegaraan kedudukan mereka sama dengan sultan
atau hakim. Mereka sudah mengetahui aturan ketuhanan sebagai tingkatan para
nabi.
4. Al-Kamal, yakni kelompok yang berusia 50
tahun ke atas. Mereka disebut dengan tingkat al-Muqarrabin min Allah karena
mereka sudah mampu memahami hakikat sesuatu sehingga mereka sudah berada diatas
alam realitas, syariat dan wahyu sebagaimana malaikat al-muqarrabun.
Karya monumental Ikhwan
al-Shafa adalah ensiklopedia Rasail Ikhwan al-Shafa. Rasail Ikhwan
Ash-Shofa wa Khilan al-Wafa didirikan pada abad ke 4 H yang dikarang oleh
10 orang yang mengaku dirinya sebagai pakar tapi mereka merahasiakan
identitasnya. Rasail ini terdiri 51 risalah (Epistle) yang
dilengkapi dengan ikhtisar di bagian akhirnya. Diduga kuat, ikhtisar ini
digarap oleh Al-Majriti (w.1008). Konon, Al-Majriti pula yang pertama-tama
membawa ajaran Ikhwan al-Shafa di daratan Spanyol. Ensiklopedi ini secara garis
besar, dapat dibagi menjadi empat kelompok:
1. Kelompok
pertama, berisi empat belas risalah ”matematis” tentang
angka. Oleh kalangan Ikhwan al-Shafa, angka dianggap alat penting untuk
mengkaji filsafat ”sebab ilmu angka akar semua sains, saripati kebijaksanaan,
sumber kognisi, dan unsur pembentuk makna. Risalah dalam kelompok ini memuat
bagian (1) pendahuluan, disusul dengan (2) geometri, (3) astronomi, (4) musik,
(5) geografi, (6) ”proporsi-proporsi harmonik”, (7) tentang seni-seni teoritis
dan praktis, dan (9) etika.
2. Kelompok
kedua, terdiri atas tujuh belas risalah yang membahas ”persoalan
fisik-materiil”. Secara kasar, semua risalah tersebut berkaitan dengan
karya-karya fisika Aristoteles. Sedikit tambahan ihwal psikologi, epistemologi,
dan linguistik yang tidak terdapat dalam korpus Aristotelian, juga masuk dalam
kelompok ini.
3. Kelompok
ketiga, terdiri atas sepuluh risalah ”psikologis-rasional”
yang membahas prinsip-prinsip intelektual, intelek itu sendiri, hal-hal kawruhan
(intelligibles), hakikat cinta erotik (’isyq), hari
kebangkitan, dan sebagainya.
4. Kelompok
keempat, terdiri atas empat belas risalah yang membahas cara
mengenal Tuhan, akidah dan pandangan hidup Ikhwan al-Shafa, sifat hukum Ilahi,
kenabian, tindakan-tindakan makhluk halus, jin dan malaikat, rezim politik, dan
terakhir hakikat teluh, azimat, dan aji-aji.
Dari isi ensiklopedi
tersebut kita dapat menafsirkan bahwa Ikhwan al-Shafa mencoba melakukan
penjelasan-penjelasan yang terkait dengan agama dan ilmu pengetahuan (filsafat
dan sains). Sedangkan karya yang erat hubungannya dengan Rasail adalah
al-Risalat al-Jami’ah (Risalah Komprehensif) yang merupakan sebuah summarium
(Ikhtisar, Ringkasan) dan summa dari karya aslinya. Selanjutnya, Jami’ah
pun diikhtisarkan dalam Risalat al-Jami’ah al-Jami’ah au al-Zubdah min
Rasail Ikhwan al-Shafa (Kondensasi dari Risalah Komprehensip atau Krim
dari Rasail Ikhwan al-Shafa), yang juga dinamai al-Risalat
al-Jami’ah.
B. Konsep Pemikiran Ikhwan al-Shafa tentang Pendidikan
1. Klasifikasi Ilmu
Ikhwan al-Shafa membagi
cabang pengetahuan menjadi tiga kelas utama, yaitu: matematika, fisika, dan
metafisika. Dalam Rasa’il matematika meliputi: teori tentang bilangan,
geometri, astronomi, geografi, musik, seni teoritis dan praktis, etika, dan
logika. Fisika meliputi: materi, bentuk, gerak, waktu, ruang, langit, generasi,
kehancuran, mineral, esensi alam, tumbuhan, hewan, tubuh manusia, indera,
kehidupan dan kematian, mikrikosmos, suka, duka, dan bahasa. Metafisika dibagi
menjadi psiko-rasionalisme dan teologi. Psiko-rasionalisme. Subdivisi pertama
(psiko-rasionalisme) meliputi fisika, rasionalistika, wujud, mikrokosmos, jiwa,
tahun-tahun raya, cinta, kebangkitan kembali dan kausalitas. Teologi meliputi
keyakinan atau akidah Ikhwan al-Shafa, persahabatan, keimanan, hukum Allah,
kenabian, dakwah, ruhani, tatanegara, struktur alam, dan magis.
2. Konsep Pendidikan Ikhwan al-Shafa
a. Cara Mendapatkan Ilmu
Menurut Ikhwan
al-Shafa, pengetahuan umum dapat diperoleh dengan tiga cara, yaitu:
1. Pancaindera. Pancaindera hanya dapat memperoleh
pengetahuan tentang perubahan-perubahan yang mudah ditangkap oleh indera, dan
yang kita ketahui hanyalah perubahan-perubahan ruang dan waktu.
2. Akal prima atau berpikir murni. Akal
murni juga harus dibantu oleh indera.
3. Inisiasi. Cara ini berkaitan erat dengan doktrin
esoteris Ikhwan al-Shafa. Dengan cara ini seseorang mendapatkan ilmu
pengetahuan secara langsung dari guru, yakni guru dalam pengertian
seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya. Guru mendapatkan ilmunya dari Imam (pemimpin
agama) dan Imam dari Imam lain, dan para Imam mendapatnya dari Nabi, dan Nabi
dari Allah, sumber ilmu paling akhir. Konsep Imam ini disinyalir bahwa Ikhwan
al-Shafa mengabdopsi konsep imam dalam pemahaman Syi’ah, yang lebih menekankan
pada sikap eksklusif dalam memilih imam dari kelompoknya sendiri.
Dalam hal anak didik,
Ikhwan al-Shafa memandang bahwa perumpamaan orang yang belum dididik ilmu
akidah ibarat kertas yang masih putih bersih, belum ternoda apapun juga.
Apabila kertas ini ditulis sesuatu, maka kertas tersebut telah memiliki bekas
yang tidak mudah dihilangkan. Pandangan ini lebih dekat dengan teori Tabula
Rasa John Locke (empirisme). Aliran ini menilai bahwa awal pengetahuan terjadi
karena pancaindera berinteraksi dengan alam nyata. Sebelum berinteraksi dengan
alam nyata itu di dalam akal tidak terdapat pengetahuan apapun.
Ikhwan al-Shafa
berpendapat bahwa ketika lahir, jiwa manusia tidak memiliki pengetahuan
sedikitpun. Proses memperoleh pengetahuan digambarkan Ikhwan secara dramatis
dilakukan melalui pelimpahan (al-faidh). Proses pelimpahan tersebut
bermula dari jiwa universal (al-nafs al-kulliyah) kepada jiwa manusia,
setelah terlebih dahulu melalui proses emanasi. Pada mulanya, jiwa manusia
kosong. Setelah indera berfungsi, secara berproses manusia mulai menerima
rangsangan dari alam sekitarnya. Semua rangsangan inderawi ini melimpah ke
dalam jiwa. Proses ini pertama kali memasuki daya pikir (al-quwwah
al-mufakkirat), kemudian diolah untuk selanjutnya disimpan ke dalam
re-koleksi atau daya simpan (al-quwwah al-hafizhat) sehingga akhirnya
sampai pada daya penuturan (al-quwwah al-nathiqat) untuk kemudian siap
direproduksi.
Pandangan Ikhwan di
atas berbeda dengan konsep fitrah dalam pendidikan Islam, bahwa manusia sejak
lahir telah membawa potensi dasar (kemampuan dasar untuk beragama) yang
diberikan Allah. Jadi, sejak lahir manusia sudah punya modal ”fitrah” tidak
layaknya kertas putih (kosong). Modal itulah yang nantinya akan dikembangkan
oleh orang tua, masyarakat, sekolah maupun lingkungan cyber universe yang
diciptakan oleh kemajuan teknologi informasi (internet).
Ikhwan al-Shafa juga
berpendapat bahwa semua ilmu harus diusahakan (muktasabah), bukan
pemberian tanpa usaha. Ilmu yang demikian didapat dengan panca indera. Ikhwan
al-Shafa menolak pendapat yang mengatakan bahwa pengetahuan adalah markuzah
(harta tersembunyi) sebagaimana pendapat Plato yang beraliran idealisme.
Plato memandang bahwa manusia memiliki potensi, dengan potensi ini ia belajar,
yang dengannya apa yang terdapat dalam akal itu keluar menjadi pengetahuan.
Plato mengatakan bahwa jiwa manusia hidup bersama alam ide (Tuhan) yang dapat
mengetahui segala sesuatu yang ada. Ketika jiwa itu menyatu dengan jasad, maka
jiwa itu terpenjara, dan tertutuplah pengetahuan, dan ia tidak mengetahui
segala sesuatu ketika ia berada di alam ide, sebelum bertemu dengan jasad.
Karena itu untuk mendapatkan ilmu pengetahuan seseorang harus berhubungan
dengan alam ide.
Dalam mempelajari ilmu
pengetahuan, Ikhwan al-Shafa mencoba meng-integrasikan antara ilmu agama dan
umum. Mereka mengatakan bahwa kebutuhan jiwa manusia terhadap ilmu pengetahuan
tidak memiliki keterbatasan pada ilmu agama (naqliyah) semata. Manusia
juga memerlukan ilmu umum (aqliyah). Dalam hal ini, ilmu agama tidak
bisa berdiri sendiri melainkan perlu bekerja sama dengan ilmu-ilmu aqliyah,
terutama ilmu-ilmu kealaman dan filsafat. Dalam hal ini Ikhwan al-Shafa
mengklasifikasikan ilmu pengetahuan aqliyah kepada 3 (tiga) kategori,
yaitu; matematika, fisika, dan metafisika. Ketiga klasifikasi
tersebut berada pada kedudukan yang sama, yaitu sama-sama bertujuan
menghantarkan peserta didik mencapai kebahagian dunia dan akhirat. Menurut
Ikhwan al-Shafa, ketiga jenis pengetahuan tersebut dapat diperoleh melalui
pancaindera, akal, dan inisiasi. Meskipun ia lebih menekankan pada kekuatan
akal dalam proses pencarian ilmu, akan tetapi menurutnya pancaindera dan akal
memiliki keterbatasan dan tidak mungkin sampai pada esensi Tuhan. Oleh karena
ini diperlukan pendekatan inisiasi, yaitu bimbingan atau otoritas ajaran agama.
b. Sosok Ideal Guru
Bagi Ikhwan, sosok guru
dikenal dengan ashhab alnamus. Mereka itu adalah mu’allim, ustadz dan
mu’addib. Guru ashhab alnamus adalah malaikat, dan guru
malaikat adalah jiwa yang universal, dan guru jiwa universal adalah akal
aktual; dan akhirnya Allah-lah sebagai guru dari segala sesuatu.
Guru, ustadz, atau
mu’addib dalam hal ini berada pada posisi ketiga. Urutan ini
selanjutnya digambarkan sebagai berikut:
1). Al-Abrar dan al-Ruhama, yaitu
orang yang memiliki syarat kebersihan dalam penampilan batinnya dan berada pada
usia kira-kira 25 tahun.
2). Al-Ru’asa dan al-Malik,
yaitu mereka yang memiliki kekuasaan yang usianya kira-kira 30 tahun, dan
disyaratkan memelihara persaudaraan dan bersikap dermawan.
3). Muluk dan Sulthan, yaitu
mereka yang memiliki kekuasaan dan telah berusia 40 tahun.
4). Tingkatan yang mengajak manusia untuk
sampai pada tingkatannya masing-masing, yaitu berserah dan menerima pembiasaan,
menyaksikan kebenaran yang nyata, kekuatan ini terjadi setelah berusia 50
tahun.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ikhwan al-Shafa
merupakan organisasi Islam militan yang telah berhasil menghimpun
pemikiran-pemikiran mereka dalam sebuah ensiklopedi, Rasail Ikhwan
al-Shafa. Melalui karya ini kita dapat memperoleh jejak-jejak ajaran
mereka, baik tentang ilmu pengetahuan, filsafat, dan agama. Terlepas dari sisi
positif dan negatif, Ikhwan al-Shafa telah menjadi bagian kajian filsafat
pendidikan Islam, Filsafat Islam, dan lai-lain.
B. Saran-saran
Mudah-mudahan
kita dapat mengambil intisari dari konsep pemikiran Ikhwan al-Shafa tentang
pendidikan, sehingga kita dapat mengoptimalkan cara untuk mencapai tujuan dari
proses belajar dan mengajar dengan maksimal.
DAFTAR PUSTAKA
Dahlan,
Abdul Aziz, Pemikiran Falsafi dalam Islam. Jakarta: Djambatan, 2003
Hanafi,
Ahmad, Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1996
Farrukh, Omar A, Aliran-Aliran
Filsafat Islam. Bandung: Nuansa Cendekia, 2004
Langgulung, Hasan, Pendidikan dan
Peradaban Islam. Jakarta: Pustaka al-Husna, 1985
Nata,
Abudin, Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Gramedia Pratama, 2005
http://mirarami.wordpress.com/2009/11/03/ikhwan-al-shafa-sejarah-dan-pemikirannya/
0 Response to "Makalah Filsafat Pendidikan Islam; Ikhwan al-Shafa"
Post a Comment