BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Kematian merupakan sesuatu yang
penuh misteri sehingga banyak tinjauan tentang kematian itu dari berbagai segi.
Ada yang meninjau dari segi mistik, dan segi agama (religius). Tinjauan secara
mistik dikaitkan dengan masalah-masalah takhayul, sedangkan tinjauan dari segi
agama ada yang mengaitkan dengan masalah gaib. Lain pula tinjauan dari sisi
ilmiah, kematian dijelaskan dengan penalaran ilmiah berdasarkan pengalaman
manusia. Salah satu tinjauan ilmiah adalah tinjauan dari sisi psikologis.
Sebagai suatu ilmu pengetahuan
empiris, psikologi terikat pada pengalaman dunia. Psikologi tidak melihat
kehidupan manusia setelah mati, melainkan mempelajari bagaimana sikap dan
pandangan manusia terhadap masalah kematian, bagaimana jiwa manusia di
saat-saat menjelang kematian (sakaratul maut).
Kepercayaan manusia terhadap
kematian merupakan salah satu penggerak manusia beragama. Bahkan Durant
mengatakan bahwa maut (kematian) adalah asal usul semua agama. Boleh jadi kalau
tak ada maut, Tuhan tak akan wujud dalam benak manusia. Dua tokoh psikologi
Freud dan Jung menyatakan bahwa ada hubungan erat antara kematian dan perilaku
religius. Kematian yang tak terelakkan itu menginsafkan manusia dengan paling
tajam akan ketidakberdayaan. Maut merupakan luka paling parah untuk narsisisme
insani. Untuk menghadapi frustrasi terbesar ini, manusia bertindak religius.
Memang ada perbedaan bidang
kajian antara psikolog sebagai ilmu empiris dengan agama sebagai suatu
kepercayaan. Agama menyangkut Allah atau lebih umum “Nan Illahi”, artinya
segala sesuatu yang bersifat Allah atau dewa. Sebaliknya psikologi menyangkut
manusia dan lingkungannya. Oleh karena itu, psikologi tidak mengeluarkan satu
pernyataan pun tentang Allah. Bahkan adanya Allah tidak bisa di-ya-kan atau
disangkal, sebab sebagai suatu ilmu pengetahuan empiris psikologi terikat pada
pengalaman dunia ini. Objek psikologi bukan Allah melainkan manusia, yakni
manusia yang beragama. Dunia ilmu pengetahuan (psikologi) berdasarkan pengalaman
dan dunia kerohanian (agama) berdasarkan keimanan.
Psikologi sebagai sebuah ilmu
yang mengkaji pikiran, perasaan, dan perilaku seseorang melihat kematian
sebagai suatu peristiwa dahsyat yang sesungguhnya sangat berpengaruh dalam
kehidupan seseorang. Ada segolongan orang yang memandang kematian sebagai
sebuah malapetaka. Namun ada pandangan yang sebaliknya bahwa hidup di dunia
hanya sementara, dan ada kehidupan lain yang lebih mulia kelak, yaitu kehidupan
di akhirat. Pandangan tersebut melahirkan dua mazhab psikologi kematian.
Pertama, mazhab sekuler yang tidak peduli dan tidak yakin adanya kehidupan
setelah mati. Kedua mazhab religius, yaitu yang memandang bahwa keabadian
setelah mati itu ada. Kehidupan di dunia perlu dinikmati, tetapi bukan tujuan
akhir dari kehidupan. Apa saja yang dilakukan di dunia dimaksudkan untuk
investasi kejayaan di akhirat.
Dua tokoh psikologi Freud dan
Jung menyatakan bahwa ada hubungan erat antara kematian dan perilaku religius.
Kematian yang tak terelakkan itu menginsafkan manusia dengan paling tajam akan
ketidakberdayaan. Maut merupakan luka paling parah untuk narsisisme insani.
Untuk menghadapi frustrasi terbesar ini, manusia bertindak religius (Dister,
1982: 105) Bahkan Durant menegaskan bahwa maut adalah asal usul semua agama.
“Boleh jadi kalau tak ada maut, Tuhan tidak akan wujud dalam benak kita.”
(Shihab dalam Hidayat, 2006: viii). Masalah kematian sangat menggusarkan
manusia. Mitos, filsafat juga ilmu pengetahuan tidak mampu memberikan jawaban
yang memuaskan. Hanya agama yang dapat berperan dalam hal ini.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan kematian?
2. Bagaimana keadaan psikologis lansia dalam
menghadapi kematian?
3. Bagaimana pandangan berbagai agama terhadap
kematian?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Kematian
Kematian adalah satu
perkara yang lazim dan realiti kepada manusia. Setiap manusia akan
menghadapinya. Namun corak kematian manusia adalah dalam kondisi atau situasi
yang berbeda-beda. Berlakunya kematian adalah dengan berbagai sebab- musabab:
1. Kematian Penyakit
adalah kematian yang disebabkan oleh sesuatu penyakit seperti kanker, AIDS,
sakit jantung, dan lain-lain.
2. Kematian Tak Diduga adalah kematian yang boleh
terjadi akibat kecelakaan, bencana, mati ketika tidur dan lain-lain.
3. Kematian Perkembangan umur atau usia adalah
kematian yang berlaku perkembangan hidupnya. Dengan lebih jelas adalah kematian
yang bakal dihadapi oleh orang tua.
Menurut Kalish (1987)
menyebut kematian sebagai berhentinya fungsi kognitif dengan andaian ia tidak
akan berfungsi kembali. Manusia juga mengalami hilang kebolehan untuk mengalami
apa jua perkara seperti berfikir, bertingkahlaku dan mempunyai perasaan.
Menurut Speece dan
Brant (1984) menyebut kematian berlaku kepada 4 komponen:
1. Perhentian dalam kehidupan adalah segala proses
kehidupan manusia seperti pergerakan, sensasi dan pemikiran.
2. Inrrevesity adalah
muktamad dan tidak boleh diobati sesuatu keadaan yang mana disebabkan proses
dalam atau biologikal.
3. Kehilangan status
adalah merupakan dari suatu keadaan kehidupan yang biasa dilalui, lalu hilang semua
ciri-ciri yang mewakili kehidupan lalunya.
4. Kematian somatic adalah matinya semua sel dalam
badan.
Secara umum kematian
dapat dikatakan sebagai lenyapnya proses biologikal, psikologikal dan
pengalaman sosial dalam sebuah budaya kehidupan. Selain itu kematian juga boleh
dikatakan apabila roh terpisah dari jasad. Seseorang individu itu boleh
diisytiharkan mati apabila pernafasan dan degupan jantungnya terhenti untuk
satu jangka masa tertentu dan aktivitas otaknya tidak berfungsi lagi.
B. Kecemasan Dalam Menghadapi Kematian Pada Lansia
Semua orang akan mengalami proses
menjadi tua dan masa tua merupakan masa hidup manusia yang terakhir, dimana
pada masa ini seseorang mengalami kemunduran fisik, mental dan sosial sedikit
demi sedikit sehingga tidak dapat melakukan tugasnya sehari-hari lagi. Menurut
Kepala Kanwil Departemen Sosial Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dalam ceramah
simposium geriatri, usia lanjut adalah orang-orang yang berusia diatas 56 tahun
dan mengandung pengertian bahwa mereka dipandang sudah tidak mampu lagi
melaksanakan tugasnya.
Secara umum manusia ingin hidup
panjang dengan berbagai upaya yang dilakukan, proses hidup yang dialami manusia
yang cukup panjang ini telah menghasilkan kesadaran pada diri setiap manusia
akan datangnya kematian sebagai tahap terakhir kehidupannya di dunia ini. Namun
demikian, meski telah muncul kesadaran tentang kepastian datangnya kematian
ini, persepsi tentang kematian dapat berbeda pada setiap orang atau kelompok
orang. Bagi seseorang atau sekelompok orang, kematian merupakan sesuatu yang
sangat mengerikan atau menakutkan, walaupun dalam kenyataannya dari beberapa
kasus terjadi juga individu-individu yang takut pada kehidupan (melakukan bunuh
diri) yang dalam pandangan agama maupun kemasyarakatan sangat dikutuk ataupun
diharamkan. (Lalenoh, 1993 : 1). Sebaliknya, bagi seseorang atau sekelompok
orang, pertambahan usia cenderung membawa serta makin besarnya kesadaran akan
datangnya kematian, dan kesadaran ini menyebabkan sebagian orang yang berusia
tua tidak merasa takut terhadap kematian. Kematian diterima sebagai seorang
sahabat. (Tony 1991 : 15)
Dengan demikian orang
lanjut usia dalam meniti kehidupannya dapat dikategorikan dalam dua macam
sikap. Pertama, masa tua akan diterima dengan wajar melalui
kesadaran yang mendalam, sedangkan yang kedua, manusia usia lanjut
dalam menyikapi hidupnya cenderung menolak datangnya masa tua, kelompok ini
tidak mau menerima realitas yang ada. (Hurlock, 1996 : 439). Seperti yang telah
dikemukakan diatas, menjadi tua merupakan proses yang wajar dan terjadi pada
setiap orang. Permasalahannya adalah bagaimana lansia tersebut bisa menyadari
dan mempersiapkan diri untuk menghadapi usia tua. Di sisi lain, ada sebuah
anggapan atau pencitraan yang negatif dan positif. Semakin bisa berfikir
positif, orang akan semakin bisa menerima kenyataan namun “menerima” itu
bukan berarti kita menerima apa adanya. Maksudnya adalah bagaimana cara kita
menyesuaikan diri dengan usia, melakukan aktivitas secara wajar sesuai dengan
kemampuan fisik dan psikis usia tua.
Proses menua
(aging) adalah proses alami yang dihadapi manusia. Dalam proses ini ,
tahap yang paling krusial adalah tahap lansia (lanjut usia). Dalam tahap ini,
pada diri manusia secara alami terjadi penurunan atau perubahan kondisi fisik,
psikologis maupun sosial yang saling berinteraksi satu sama lain.
Keadaan itu cenderung berpotensi menimbulkan masalah kesehatan secara umum (fisik)
maupun kesehatan jiwa secara khusus pada individu lanjut usia. Usia lanjut
ditandai dengan perubahan fisik dan psikologis tertentu. Efek-efek tersebut
menentukan lansia dalam melakukan penyesuaian diri secara baik atau buruk, akan
tetapi ciri-ciri usia lanjut cenderung menuju dan membawa penyesuaian diri yang
buruk dari pada yang baik dan kepada kesengsaraan dari pada kebahagiaan, itulah
sebabnya mengapa usia lanjut lebih rentan dari pada usia madya. (Hurlock, 1999
: 380)
Masalah-masalah kesehatan atau
penyakit fisik dan atau kesehatan jiwa yang sering timbul pada proses menua
(lansia), menurut Stieglitz (dalam Nugroho; 1954) diantaranya; gangguan
sirkulasi darah, gangguan metabolisme hormonal, gangguan pada persendian, dan
berbagai macam neoplasma. Masalah sosial yang dihadapi lanjut usia
(lansia) adalah bahwa keberadaan lansia sering dipersepsikan negatif oleh
masyarakat luas. Kaum lansia sering dianggap tidak berdaya, sakit-sakitan,
tidak produktif dan sebagainya. Tak jarang mereka diperlakukan sebagai beban
keluarga, masyarakat, hingga negara. Mereka seringkali tidak disukai serta
sering dikucilkan di panti-panti jompo. Perubahan perilaku ke arah negatif ini
justru akan mengancam keharmonisan dalam kehidupan lansia atau bahkan sering
menimbulkan masalah yang serius dalam kehidupannya.
Orang
yang sudah lanjut usia seringkali mendapat perlakuan yang sebenarnya tidak
mereka inginkan, misalnya selalu disuruh duduk saja. Mungkin para lansia itu
akan berfikir, “ Mentang-mentang sudah tua, disuruh diam saja. Padahal kan aku
ingin membantu juga”. Begitulah yang biasanya terjadi, yang muda merasa
kasihan, sementara yang tua merasa kalau mereka masih sanggup melakukan sesuatu.
Apa yang orang muda lakukan pada mereka yang sudah lansia seperti yang
dikemukakan tersebut, sebenarnya suatu kesalahan (Bali Post, 2 Juni 2002).
Sementara sumber data dari World Bank tahun 1994 (Kompas, 30 Mei 1996)
membeberkan usia harapan hidup rata-rata penduduk Indonesia ditahun 1960
hanyalah 46 tahun, tetapi ditahun 1990 usia harapan hidup melonjak menjadi 59
tahun, sedangkan ditahun 1994 adalah 62 tahun. Lantas ditahun 2000 meningkat
lagi menjadi minimal 70 tahun.
Usia lanjut
dipandang sebagai masa degenerasi biologis yang disertai oleh penderitaan
berbagai dengan masa penyakit dan keudzuran serta kesadaran bahwa setiap orang
akan mati, maka kecemasan akan kematian menjadi masalah psikologis yang penting
pada lansia, khususnya lansia yang mengalami penyakit kronis. Pada orang lanjut
usia biasanya memiliki kecenderungan penyakit kronis
(menahun/berlangsung beberapa tahun) dan progresif (makin berat) sampai
penderitanya mengalami kematian. Kenyataannya, proses penuaan dibarengi
bersamaan dengan menurunnya daya tahan tubuh serta metabolisme sehingga menjadi
rawan terhadap penyakit, tetapi banyak penyakit yang menyertai proses ketuaan
dewasa ini dapat dikontrol dan diobati. Masalah fisik dan psikologis sering
ditemukan pada lanjut usia. Faktor psikologis diantaranya perasaan bosan,
keletihan atau perasaan depresi. (Nugroho, 1992 : 32)
Kecemasan
akan kematian dapat berkaitan dengan datangnya kematian itu sendiri, dan dapat
pula berkaitan dengan caranya kematian serta rasa sakit atau siksaan yang
mungkin menyertai datangnya kematian, karena itu pemahaman dan pembahasan yang
mendalam tentang kecemasan lansia penting untuk, khususnya lansia yang
mengalami penyakit kronis, dalam menghadapi kematian menjadi penting untuk
diteliti. Sebab kecemasan bisa menyerang siapa saja. Namun, ada spesifikasi
bentuk kecemasan yang didasarkan pada usia individu. Umumnya, kecemasan ini
merupakan suatu pikiran yang tidak menyenangkan, yang ditandai dengan
kekhawatiran, rasa tidak tenang, dan perasaan yang tidak baik atau tidak enak
yang tidak dapat dihindari oleh seseorang (Hurlock, 1990:91).
Disamping
itu juga, ada beberapa faktor lain yang dapat menimbulkan kecemasan ini, salah
satunya adalah situasi. Menuruk Hurlock (1990:93), bahwa jika setiap situasi
yang mengancam keberadaan organisme dapat menimbulkan kecemasan. Kecemasan
dalam kadar terberat dirasakan sebagai akibat dari perubahan sosial yang sangat
cepat. Hal ini sesuai dengan hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan oleh
peneliti dengan salah seorang lansia yang sedang mengalami pengobatan rawat
jalan karena terkena penyakit kronis di tempat kediamannya, seperti dituturkan
oleh Azis salah seorang anak yang orang tuanya sedang menjalani terapi pasca
pengobatan penyakit stroke di RSU Saiful Anwar Malang, bahwa “ia pasrah terhadap penyakit yang diderita oleh ibunya,
berbagai usaha sudah kami lakukan sebagai anak agar ibu cepat sembuh walaupun
tidak 75% sembuhnya. Tapi ibu juga agak rewel susah diatur dan kadang mintanya
macem-macem, disuruh diam duduk disitu, ia malah kepengen jalan katanya gak
betah tiduran aja”.
Hal
tersebut sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh (Casanah,2000:27)
mengemukakan bahwa mungkin saja orang yang sudah lanjut usia seringkali
mendapat perlakuan yang sebenarnya tidak mereka inginkan, misalnya selalu
disuruh duduk saja. Mungkin para lansia itu akan berfikir, “ Mentang-mentang
sudah tua, disuruh diam saja. Padahal kan aku ingin membantu juga .” Begitulah
yang biasanya terjadi, yang muda merasa kasihan, sementara yang tua merasa
kalau mereka masih sanggup melakukan sesuatu. Apa yang orang muda lakukan pada
mereka yang sudah lansia seperti yang dikemukaan tersebut, sebenarnya suatu
kesalahan. Keluhan-keluhan tersebut merupkan suatu cara yang memang seringkali
dilakukan dan terjadi dikalangan lansia yang tujuannya adalah untuk mendapatkan
perhatian lebih dari orang-orang terdekatnya yang mungkin hal tersebut bagi si
orang tua (lansia) terasa sangat jauh dari dirinya apalagi dalam bentuk
perhatian terhadap kesehatan dirinya, seperti pola makan yang sangat diatur,
dan lain sebagainya adalah merupakan hasil dari adanya kecemasan akan kondisi
kesehatan fisiknya (lansia).
Terdapatnya
beberapa penyakit sekaligus pada waktu yang sama, juga sering terjadi pada
lansia dan inilah yang sering menimbulkan masalah dalam diagnostik sekaligus
menimbukan kecemasan bagi si lansia itu sendiri. Bahkan adakalanya bahwa
penyakit yang gawat, kurang diperhatikan karena gejala-gejalanya terselubung
oleh keluhan-keluhan umum yang dikemukakan atau oleh karena gejala-gejala
proses menjadi tua. Adakalanya mereka melebih-lebihkan keluhan mereka,
sebaliknya sering mereka tidak mengemukakan apa yang dirasakan sesungguhnya.
Selain kesehatan
fisik yang perlu dipahami, juga ada kesehatan mental, misalnya depresi. Depresi
pada lansia memiliki latar belakang yang agak berbeda dengan orang dewasa
lainnya, karena depresi pada lansia lebih sering timbul akibat berbagai
penyakit fisik yang dideritanya. Suatu ketergantungan hidup pada orang lain
timbul pada sebagian lansia yang kondisi fisiknya memang sudah tidak sempurna
lagi, sehingga merupakan fenomena kedua penyebab adanya depresi
(Nugroho,1992:69). Kecemasan lansia yang mengalami penyakit kronis dalam
menghadapi kematian diantaranya adalah terjadinya perubahan yang drastis dari
kondisi fisiknya yang menyebabkan timbulnya penyakit tertentu dan menimbulkan
kecemasan seperti gangguan penceranaan, detak jantung bertambah cepat
berdebar-debar akibatdari penyakit yang dideritanya kambuh, sering merasa
pusing, tidur tidak nyenyak, nafsu makan hilang. Kemudian secara psikologis
kecemasan lansia yang mengalami penyakit kronis dalam menghadapi kematian
adalah seperti adanya perasaan khawatir, cemas atau takut terhadap kematianitu
sendiri, tidak berdaya, lemas, tidak percaya diri, ingin bunuh diri, tidak
tentram, dan gelisah.
Faktor-faktor
yang menyebabkan timbulnya kecemasan pada lansia yang mengalami penyakit kronis
dalam menghadapi kematian diantaranya adalah selalu memikirkan penyakit yang
dideritanya, kendala ekonomi, waktu berkumpul dengan keluarga yang dimiliki
sangat sedikit karena anak-anaknya tidak berada satu rumah/berlainan kota
dengan subyek, kepikiran anaknya yang belum menikah, sering merasa kesepian,
kadang sulit tidur dan kurangnya nafsu makan karena selalu memikirkan penyakit
yang dideritanya.
Usaha-usaha
yang dapat dilakukan untuk mengatasi kecemasan pada lansia yang mengalami
penyakit kronis dalam menghadapi kematian meliputi menghibur dan menenangkan
diri dengan menyanyi, rajin beribadah, menyibukkan diri, misalnya mencuci
pakaian atau menyirami tanaman, rajin
memeriksakan kesehatannnya ke dokter atau puskesmas terdekat dan mengatur pola
makan teratur sebisa mungin, dan mengisi hari-harinya dengan cara menjenguk
anak dan cucunya atau pergi mengunjungi ke panti jompo.
C.
Kematian dalam Prespektif Agama
1. Kematian dari perspektif agama Islam
Islam memberikan
perspektif yang positif tentang kematian. Kehidupan dan kematian adalah
tanda-tenda kebesaran Allah. Kehidupan dan kematian adalah ujian bagi manusia,
agar manusia dapat mengambil pelajaran dari keduanya, dan berbuat baik di atas
bumi. Dalam Al-Qur’an dinyatakan ;
“(Dialah Allah) yang menjadikan
mati dan hidup, supaya dia menguji kalian, siapa diantara kalian yang baik
amalnya....” ( QS Al-Mulk: 2)
Kematian hanya
merupakan salah satu tahap dari perjalanan manusia sebagai makhluk yang
diciptakan Allah. Setelah manusia di ciptakan dengan sebaik-baiknya bentuk
mulai dari masa konsepsi, Allah kemudian mematikannya. Namun sesudah itu,
manusia akan dibangkitkan di hari kiamat.
Menurut perspektif
islam, kematian dianggap sebagai peralihan kehidupan, dari kehidupan dunia
menuju kehidupan di alam lain. Menurut islam, setelah meninggal dan dikuburkan,
manusia akan dihidupkan kembali. Kematian di alam kubur seperti tidur untuk
menghadapi hari kebangkitan. Mereka yang berpisah karena kematian di
dunia, dapat bertemu kembali dalam kehidupan setelah mati, manusia akan
mempertanggung jawabkan perbuatannya selama hidup di dunia.
Kehidupan setelah
mati merupakan hal yang sulit untuk di buktikan secara empirik. Mereka telah
mengalami kematian tidak dapat kembali ke dunia untuk memberi tahu apa yang
terjadi setelah mati. Penelitian empirik hanya dapat dilakukan pada orang-orang
yang pernah mengalami mati suri, dan setalah beberapa lama, kemudian bangun
kembali dari mati sementaranya tersebut. Penelitian terhadap mereka menunjukan
adanya kesamaan pola pengalaman mati suri. Hal ini memperlihatkan adanya
kemungkinan besar tentang kehidupan setelah mati.
2. Kematian menurut pespektif agama
Kristen
Kematian ialah
permulaan dan permulaan sesuatu yang indah jika anda menjalani hidup menurut
jalan Tuhan. Semua menyadari bahwa ada kehidupan selepas kematian dan ada
balasan.
Kitab Bible bahkan
sangat jelas mengenai bila masa seseorang akan menemui takdir muktamadnya.
Kitab Injil memberitahu kita bahawa selepas masa mati, seseorang diangkat ke
syurga atau dihantar ke neraka berasaskan samada dia percaya kepada Jesus
sebagai Penyelamat Individu? Bagi orang yang percaya kepada Jesus, selepas
kematian dia akan meninggalkan badan fizikal ini dan berada bersama dengan
Tuhan Jesus (2 Korintus 5:6-8; Filipi 1:23). Untuk mereka yang tidak percaya,
selepas kematian mereka akan mengalami hukuman abadi di dalam neraka (Lukas
16:22-23).
Wahyu 20:11-15
menguraikan mereka yang berada di neraka adalah dicampak ke dalam tasik api.
Wahyu bab 21-22 menguraikan satu Syurga Baru dan Bumi Baru. Oleh itu, nampaknya
sehingga kebangkitan terakhir, selepas mati roh manusia akan berada di satu
Syurga atau Neraka sementara. Takdir muktamad seseorang tidak akan diubah
tetapi lokasi takdir akhirnya mungkin bertukar. Setakat sesuatu ketika selepas
mati, mereka yang percaya kepada Jesus akan dihantar ke Syurga Baru dan Bumi
Baru (Wahyu 21:1). Setakat sesuatu ketika selepas mati,mereka yang tidak
percaya kepada Jesus akan dicampak ke dalam tasik api (Wahyu 20:11-15). Inilah
destinasi terakhir dan abadi untuk semua orang berasaskan sepenuhnya ke atas
samada dia percaya kepada Jesus untuk penyelamatan dan pengampunan dosa.
3. Kematian menurut perspektif agama
Buddha
Salah satu alasan
mengapa orang-orang cenderung menjadi takut terhadap kematian ialah mereka
tidak tahu apa yang akan mereka alami . Di dalam tradisi Buddhis Tibet ada
keterangan yang jelas dan terperinci mengenai proses kematian, yang meliputi
delapan tahap. Delapan tahap itu berhubungan dengan pencerai-beraian berbagai
faktor secara beransur-angsur, seperti empat elemen: tanah, air, api, dan
udara. Jika mereka melewati lapan tahap itu, akan muncul berbagai tanda
internal dan eksternal.
Empat elemen tercerai
berai pada empat tahap yang pertama. Pada tahap pertama, elemen tanah mulai
terpisah, dan kelihatan dari tanda luar yaitu: tubuh seseorang menjadi lebih
kurus dan lebih lemah dan secara internal orang itu melihat berbagai ilusi.
Pada tahap kedua,unsur air mulai terpisah dengan tanda eksternal, tubuh
mengering, dan secara internal orang tersebut melihat asap. Elemen api mulai
terpisah pada tahap ketiga, dengan tanda eksternal, pendengaran dan kemampuan
mencerna mengalami penurunan dan secara internal orang tersebut memiliki suatu
penglihatan terhadap tanda-tanda. Pada tahap keempat, angin atau udara
terpisah, dengan tanda eksternalnya: nafas berhenti, dan secara internal: orang
itu melihat sebuah bara api yang hampir menyala. Ini adalah saat dimana
seseorang dinyatakan mati. Elemen-elemen fisik yang besar telah tercerai berai
secara keseluruhan, nafas telah berhenti, dan sudah tidak ada lagi gerakan di
dalam otak atau sistem sirkulasi.
Bagaimanapun juga,
menurut Buddhisme, kematian belum terjadi kerana fikiran atau kesadaran masih
ada di dalam jasad fisik. Ada beberapa tingkat fikiran: kasar, halus, dan
sangat halus. Fikiran atau kesadaran kasar terdiri dari: enam kesadaran indra
kita dan delapan puluh konsepsi instinktif. Yang pertama terpisah pada empat
tahap yang pertama. Yang belakangan terpisah pada tahap kelima, mengikuti orang
yang mendapat penglihatan tentang warna putih (visi putih). Pada tahap keenam,
visi putih hilang dan visi merah muncul. Pada tahap ketujuh, visi merah lenyap
dan visi kegelapan muncul. Visi-visi putih, merah, dan kegelapan merupakan
tahap kesedaran yang halus. Akhirnya, pada tahap kelapan, visi kegelapan lenyap
dan fikiran yang sangat halus yang berupa cahaya terang menjadi nyata. Ini
adalah tahap fikiran kita yang paling halus dan paling murni atau kesedaran.
Para meditator yang mengalaminya mampu memanfaatkan cahaya terang dari fikiran
ini untuk bermeditasi dan merealisasi kebenaran mutlak, bahkan mencapai pencerahan.
Itulah sebabnya para meditator seperti itu tidak takut menghadapi kematian,
bahkan kelihatan berani menghadapi kematian seolah-olah akan pergi untuk
berhibur.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kematian adalah satu
perkara yang lazim dan realiti kepada manusia. Setiap manusia akan
menghadapinya. Namun corak kematian manusia adalah dalam kondisi atau situasi
yang berbeda-beda. Berlakunya kematian adalah dengan berbagai sebab- musabab:
1. Kematian Penyakit adalah kematian yang
disebabkan oleh sesuatu penyakit seperti kanser, AIDS, sakit jantung, angina
ahmar dan lain-lain.
2. Kematian Tak Diduga adalah kematian yang
boleh terjadi akibat kemalangan, bencana, mati ketika tidur dan lain-lain.
3. Kematian Perkembangan umur atau usia adalah
kematian yang berlaku perkembangan hidupnya. Dengan lebih jelas adalah kematian
yang bakal dihadapi oleh orang tua.
B. Saran
Pemakalah menyadari bahwa dalam
proses pembuatan dan penyampaian makalah terdapat banyak kesalahan dan
kekhilafan dari kurangnya sumber buku, pemakalah sangat mengharapkan kritik dan
saran yang membangun untuk pemakalah guna mengingatkan dan memperbaiki setiap
kesalahan yang ada dalam proses pembuatan dan penyampaian makalah. Terakhir
tidak lupa pemakalah mengucapkan rasa syukur kehadirat Allah SWT serta terima
kasih kepada pihak-pihak yang membantu dalam proses pembuatan makalah ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Hidayat,
Komaruddin (2006), Psikologi Kematian. Bandung: Mizan
Hurlock, Elizabeth. (1990), Psikologi
Perkembangan edisi kelima, Jakarta: Erlangga
Santrock, Jhon. W. Life Span Development,
Perkembangan Masa Hidup. Jilid II Erlangga
Hasan, Aliah B. Purwakania (2006), Psikologi
Perkembangan Islami, Jakarta: Raja Grafindo Persada
http://boharudin.blogspot.com/2011/05/psikologi-kematian.html
0 Response to "Makalah Psikologi Perkembangan : Kematian"
Post a Comment