SITUASI SOSIAL
POLITIK PADA AKHIR KHALIFAH ALI KW. DAN KELAHIRAN DINASTI BANI UMAYYAH
A.
Pendahuluan
Keadaan
sosial politik pada awal kepemimpinan Ali sangat tidaak stabil karena terjadi
pemberontakan dimana-mana. Pemberontakan-pemberontakan itu tidak dapat
diselesaikan hingga kepemimpinan Ali, sehingga hal tersebut menyebabkan
pecahnya umat Islam menjadi beberapa golongan dan sangat tidak menguntungkan
bagi Ali.
Setelah
pembunuhan khalifah Utsman, kebingungan dan kekacauan terjadi selama lima hari.
Pada waktu itu masyarakat beramai-ramai membaiat Ali sebagai khalifah. Ali
mula-mula tidak mau menerima kekhalifahan itu, pada saat keadaan seperti itu.
Akan tetapi, mengingat kepentingan-kepentingan Islam, akhirnya dia setuju
menerima tanggung jawab kekhalifahan.
Dari
rangkain latar belakang di atas, penyusun tertarik untuk menguraikan bagaimana
situasi sosial akhir politik pada akhir khalifah Ali KW. dan bagaimana proses
lahirnya dinasti Bani Umayyah.
B. Situasi sosial politik pada akhir khalifah Ali
KW. Dan kelahiran dinasti Bani Umayyah
1. Pemberontakan yang terjadi pada masa akhir kekhalifahan
Ali bin Abi Thalib
a.
Pemberontakan Thalhah, Zubair, dan Aisyah
Thalhah dan Zubair
mula-mula menerima Ali sebagai khalifah. Belakangan mereka tidak mengakuinya karena
Ali tidak menyetujui tuntutan mereka bahwa ia harus segera menghukum para
pembunuh khalifah Utsman.
Dua
orang Quraisy ini adalah tokoh-tokoh Muhajirin dan telah lama menjadi
angota-anggota syura yang memilih Utsman. Pandangan politik mereka tetap terpusatkan
pada pelestarian kepemimipinan umat di tangan suku Quraisy. Walaupun telah
menokohkan Utsman dalam syura, dia telah mengecewakan mereka dan karena itu
kehilangan dukungan mereka. Mereka tentunya khawatir bahwa Ali bahkan lebih
besar kemungkinannya untuk melakukan perubahan-perubahan radiakal dalam organisasi
kekhalifahan dan kedudukan Amirul Mu’minin.[1] Sedangkan Aisyah merasa
apa yang tampak baik bagi ayahnya dan bagi penggantinya akan membawa kebaikan
untuk masa-masa selanjutnya dan karena itu dia memutuskan untuk menentang Ali.
Selain
itu ada fakta-fakta yang lebih penting yaitu bahwa dari sejak dahulu telah ada
ketegangan antara Ali dan Aisyah, yang disebabkan oleh pendirian Ali
memberatkan Aisyah dalam peristiwa Aisyah tertuduh (haditsatul ifk) dan faktor
Ibnu Zubair yang diambilnya dari Asma yang dijadikan anak angkatnya.
Karena
Abdullah mempunyai ambisi besar hendak menduduki kursi khalifah, tetapi
keinginannya itu terhalang karena adanya Ali, maka dihasutlah Aisyah untuk
berperang melawan Ali.
Ali
mengirim surat kepada Thalhah dan Zubair agar keduanya mau berunding untuk
menyelesaikan perkara itu secara damai. Tetapi mereka menolak dan perang pun
tidak dapat dihindari. Perang tersebut dikenal dengan Perang Unta atau Harbi
Jamal.
Akhirnya
Ali memenangkan peperangan tersebut. Thalhah dan Zubair terbunuh ketika hendak
melarikan diri. Sebanyak 20.000 muslim gugur dalam pertempuran tersebut. Aisyah
ditawan, Ali mengirimkannya ke Madinah.
b. Pemberontakan
Muawiyah
Muawiyah
adalah gubernur Syiria yang sejak awal berseberangan dengan Ali juga
mengharapkan kekhalifahan dan memanfaatkan keadaan yang ditimbulkan oleh
pembunuhan Utsman itu untuk kepentingannya sendiri.
Dia
membangkitkan kemarahan rakyat dengan cara memperlihatkan di dalam masjid
barang peninggalan Utsaman beserta potongan jari Bibi Naila, isteri Utsman. Dia menuntut Ali menemukan dan
menghukum para pembunuh, kalau tidak ia harus menerima sebagai pembunuhnya.
Ali
bergerak dari Kufah memimpin 50.000 tentara untuk menumpas pemberontakan Muawiyah
yang maju dengan tentara yang lebih besar. Kedua pasukan itu berhadapan di
medan Siffin. Khalifah Ali mau menghindari pertumpahan darah umat Islam dan mau
menyelesaikan itu dengan damai, tetapi cara itu mengalami kegagalan.
Kemenangan
sudah di depan mata Ali, Muawiyah pun cemas. Muawiyah yang cerdik, atas nasihat
Amr ibn Ash, mengikat Alquran pada ujung tombak tentaranya, dan dengan demikian
menuntut agar perselisihan tersebut diselesaikan menurut Alquran.
Ali
berusaha untuk meneruskan pertempuran yang kemenangannya sudan di depan mata, tetapi
Ali tidak dihiraukan oleh pasukannya, malahan mereka memaksa Ali supaya
mengumumkan bahwa peperangan dihentikan. Ali tidak dapat menahan dan terpaksa
mengalah dan menghentikan peperangan tersebut.[2]
Pertempuran
pun dihentikan, diputuskanlah bahwa perselisihan itu harus diselesaikan oleh
dua orang penengah sebagai wasit. Muawiyah mengirim Amr bin Ash, sedangkan Ali
mengirim Abu Musa al-Asy’ari.
Namun
dengan tipu muslihat Amr ibn Ash, akhirnya pihak Ali keluar sebagai yang kalah.
Peristiwa itu dikenal dengan tahkim.
Peristiwa
itu telah menguntungkan Muawiyah, tetapi keuntungan itu bukanlah karena
diumumkan pemberhentian Ali dan menetapkan Muawiyah, melainkan karena peristiwa
itu menimbulkan perpecahan pada laskar Ali. Laskar Ali terpecah menjadi dua
golongan:
a. Golongan Khawarij
Golongan
Khawarij adalah merupakan perpecahan dari pengikut Ali yang mulai timbul dan
memisahkan diri setelah terjadi Perang Shiffin antara Ali dan Muawiyah. Karena
Ali menerima perdamaian tersebut, mereka menganggap bahwa hal itu merupakan
kesalahan besar sebab perdamaian itu tidak dilakukan dengan jujur dan tidak
adil.
Akhirnya
mereka yang tidak setuju dengan tahkim tersebut membentuk golongan sendiri yang
dipimpin oleh Abdullah ibn Wahab ar-Rasyidi. Golongan ini tidak hanya memusuhi
Ali, tetapi juga Muawiyah, dan mereka juga menghalalkan darah dan jiwa orang
yang tidak termasuk golongannya. Bahkan terbunuhnya Ali adalah tanggung jawab
aliran Khawarij melalui Abdurrahman ibn Muljam.
b. Golongan Syi’ah
Timbulnya
aliran Syi’ah ini karena sebab-sebab politik. Mereka menyatakan bahwa keluarga
Nabi adalah yang paling berhak menggantikan beliau sebagai khalifah. Oleh
karena itu Ali lebih utama derajatnya dari yang lain, maka dialah yang berhak menggantikannya.[3] Tetapi gerakan yang
bersifat politik ini dalam perkembangan sejarahnya akhirnya mengarah kepada
suatu ajaran teologi atau ilmu kalam.
Aliran
Syi’ah sebagai gerakan bersifat politik, didukung pula oleh para sahabat antara
lain Jabir ibn Abdillah, Hudzifah ibn Yaman, Salaman al-Farisi, Abu Dzar
al-Ghifari, Ammar bin Yasir dan Ibnu Mas’ud. Pada masa Utsman, muncul
golongan-golongan pro dan kontra, yang disebabkan sikap dari politik khalifah
yang memeberi angin kepada munculnya kembali sifat-sifat ashabiyah
(kekeluargaan dan kesukuan), di mana para pembesar negara banyak diangkat
dari keluarga khalifah, yaitu Bani Umayyah. Maka timbullah golongan-golongan
yang menuntut pengunduran diri Utsman dari khalifah.
Para
sahabat menasihati Utsman agar mengundurkan diri, tetapi Utsman mengabaikan
mereka. Akhirnya mulai timbul huru-hara di Kufah, Basrah, daan Mesir. Hal
tersebut dimanfaatkan oleh Abdllah ibn Sabak, seorang muallaf dari Yahudi untuk
menyebarluaskan propagandanya dengan memburuk-burukan khalifah Utsman dan
memuji-muji Ali sebagai seseorang yang berhak menjadi khalifah.
Akhirnya
segolongan umat Islam termakan oleh propagandanya, sehingga mereka menyerbu
Madinah yang mengakibatkan terbunuhnya Utsman pada tahun 35 H/636 M, kemudian
mereka mengangkat Ali sebagai khalifah.[4]
Dengan
demikian pendukung Ali di samping Ahlul Bait, Syi’ah Alawiah yang asli keluarga
Nabi, juga dari pengikut Abdullah bin Sabak dari Kufah dan Basrah bekas-bekas
penganut agama Majusi Persia/Iraq.
2. Kelahiran
Dinasti Umayyah
Nama
daulah Umayyah berasal dari nama Umayyah Ibn ‘Abdi Syams Ibn ‘Abdi Manaf, yaitu
salah seorang dari pemimpin kabilah Quraisy pada zaman jahiliyah. Bani
Umayyah baru masuk agama Islam setelah mereka tidak menemukan jalan lain selain
memasukinya, yaitu ketika Nabi Muhammad bersama beribu-ribu pengikutnya yang
benar-benar percaya terhadap kerasulan dan kepemimpinan beliau menyerbu masuk
ke dalam kota Makkah.
Memasuki
tahun ke 40 H/660 M, banyak sekali pertikaian politik dikalangan ummat Islam
seperti yang sudah diuaraikan di atas, puncaknya adalah ketika terbunuhnya
Khalifah Ali bin Abi Thalib oleh Ibnu Muljam. Pembunuh tersebut disinyalir dari
golongan Khawarij yang merasa bahwa perpecahan ummat Islam adalah disebabkan
oleh tiga orang, yaitu: Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah, dan ‘Amr bin al ‘Ash.
Setelah
khalifah terbunuh, kaum muslimin di wilayah Irak mengangkat al-Hasan putra
tertua Ali sebagai khalifah yang sah. Sementara itu Muawiyah sebagi gubernur
provinsi Suriah (Damaskus) juga menobatkan dirinya sebagai Khalifah.
Namun
karena Hasan ternyata lemah sementara Mu’awiyah bin Abi Sufyan bertambah kuat,
maka Hasan bin Ali membuat perjanjian damai yang berisi:
1. Agar
Muawiyah tidak menaruh dendam terhadap seorang pun dari penduduk Irak.
2. Agar
pajak tanah negeri ahwaz diberikan kepada Hasan setiap tahun.
3. Muawiyah
membayar kepada saudaranya Husein sebanyak 2 juta dirham.
4. Menjamin
keamanan dan memaafkan kesalahan penduduk Irak.
5. Pemberian
kepada bani Hasyim haruslah lebih banyak daripada bani Abdu Syam.
6. Jabatan
sesudah khalifah sesudah Muawiyah harus diputuskan berdasarkan musyawarah
diantara kaum Muslimin.
Perjanjian
tersebut dapat mempersatukan umat Islam kembali dalam satu kepemimpinan politik
dibawah pimpinan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Pada tahun 41 H (661 M) merupakan
tahun persatuan, yang dikenal dalam sejarah sebagai tahun jama’ah (‘Am al
Jama’ah).
Sepeninggal
Rasulullah, Bani Umayyah sesungguhnya telah menginginkan jabatan penggati Rasul
(khalifah), tetapi mereka belum berani menampakkan cita-citanya itu pada masa
Abu Bakar dan Umar. Baru setelah Umar meninggal, yang penggantinya diserahkan
kepada hasil musyawarah enam orang sahabat, Bani Umayyah menyongkong pencalonan
Utsman secara terang-terangan, hingga akhirnya Utsman terpilih. Sejak saat itu
mulailah Bani Umayyah meletakan dasar-dasar untuk menegakan Khalifah Umayyah.
Pada masa pemerintahan Utsman inilah Mu’awiyyah mencurahkan segala tenaganya
untuk memperkuat dirinya, dan menyiapkan daerah Syam (Syiria) sebagi pusat
kekuasaanya di kemudian hari.
Oleh
Muawiyah ibu kota negara dipindah dari Madinah ke Damaskus, tempat ia berkuasa
sebagai gubernur sebelumnya. Pemerintahan yang sebelumnya bersifat demokratis
dirubah menjadi monarchi heridetis (kerajaan turun temurun). Kekuasaan Bani
Umayyah di Damaskus berlangsung selama 91 tahun (41 – 132 hijriah atau 661 –
750 M) dengan 14 khalifah yang dimulai dari Umayyah bin Abi Sufyan dan diakhiri
Marwan ibn Muhammad.
3.
Kronologi Kerajaan
Bani Umayyah
a. 661 M. Muawiyyah menjadi khalifah dan mengasaskan
Kerajaan Bani Umayyah
b. 670 M. Mara ke Afrika Utara. Penaklukan Kabul.
c. 677 M. Penawanan Samarkand dan Tirmiz. Serangan
ke atas Constantinople.
d. 680 M. Kematian Muawiyah. Yazid I menaiki tahta.
Pembunuhan Hussein.
e. 685 M. Khalifah Abdul Malik menjadikan Bahasa
Arab sebagai bahasa resmi kerajaan.
f. 700 M. Kempen menentang kaum Barbar di Afrika
Utara.
g. 711 M. Penaklukan Spanyol, Sind dan Transoxiana.
h. 712 M. Tentara Umayyah mara ke Spanyol, Sind,
Transoxiania.
i. 713 M. Penaklukan Multan.
j. 716 M. Serangan ke atas Constantinople.
k. 717 M. Umar ibn Abdul Aziz menjadi Khalifah.
Pembaharuan yang hebat dijalankan.
l. 725 M. Tentara Islam menawan Nimes di Perancis.
m. 749 M. Kekalahan tentara Umayyah di Kufah, Iraq
di tangan tentara Abbasiyah.
n. 750 M. Damsyik ditawan oleh tentara Abbasiyah.
Kejatuhan Kerajaan Bani Umayyah.
4. Khalifah Umayyah di Damsyik
a. Muawiyah I bin Abu Sufyan, 661-680 M.
b. Yazid I ibn Muawiyah, 680-683 M.
c. Muawiyah II ibn Yazid, 683-684 M.
d. Marwan I ibn Hakam, 684-685 M.
e. Abd al-Malik ibn Marwan, 685-705 M.
f. Al-Wahid I ibn Abd al-Malik, 705-715 M.
g. Sulaiman ibn Abd al-Malik, 715-717 M.
h. Umar ibn abd al-Aziz, 717-720 M.
i. Yazid II ibn Abdul Malik, 720-724 M.
j. Hisyam ibn Abdul Malik, 724-743 M.
k. Al-Wahid II ibn Yazid II, 743-744 M.
l. Yazid III ibn al-Wahid, 744 M.
m. Ibrahim ibn al-Wahid, 744 M.
n. Marwan II ibn Muhammad, 744-750 M.
5. Khalifah di Cordoba
a. Abdurrahman I, 756-788 M.
b. Hisyam I, 788-796 M.
c. Al-Hakam I, 796-822 M.
d. Abdurrahman II, 822-852 M.
e. Muhammad I, 852-886 M.
f. Al- Mundhir, 886-888 M.
g. Abdallah ibn Muhammad, 888-912 M.
h. Abdurrahman III,912-961 M.
i. Al-Hakam II, 961-976 M.
j. Hisyam II, 976-1008 M.
k. Mohammed II, 1008-1009 M.
l. Sulaiman, 1009-1010 M.
m. Hisyam II, menaiki tahta semula, 1010-1012 M.
n. Sulaiman, menaiki tahta semula, 1012-1017 M.
o. Abdurrahman IV, 1021-1022 M.
p. Abdurrahman V, 1022-1023 M.
q. Muhammad III, 1023-1024 M.
r. Hisyam III, 1027-1031 M.
6. Sistem
Pemerintahan Dinasti Umayyah
Untuk
mengamankan tahtanya dan memperluas batas wilayah Islam, Muawiyah sangat
mengandalkan orang-orang Suriah yang kebanyakan terisi dari bangsa Yaman dan
mengenyampingkan umat Islam pendatang dari Hijaz. Para sejarawan mengatakan
bahwa orang-orang Suriah itu sangat menjunjung tinggi kesetian terhadap khalifah
Bani ini.
Sebagai
organisator militer, Muawiyah adalah yang paling unggul diantara rekan-rekan
se-zamannya. Ia mencetak bahan mentah yang berupa pasukan Suriah menjadi satu
kekuatan militer Islam yang terorganisir dan berdisiplin tinggi. Ia menghapus
sistem pemerintahan yang tradisional, pemerintahan yang berdasarkan kesukuan
dan mengadopsi kerangka pemerintahan Bizantium, ia membangun sebuah negara yang
stabil dan terorganisir.
Ketika
berkuasa, Muawiyah telah banyak melakukan perubahan besar dan menonjol di dalam
pemerintahan negeri waktu itu. Mulai dari pembentukan angkatan darat yang kuat
dan efisien, dia juga merupakan khalifah pertama yang yang mendirikan suatu
departemen pencatatan (diwanulkhatam) yang fungsinya adalah sebagai
pencatat semua peraturan yang dikeluarkan oleh khalifah, kemudian disalin dalam
sebuah daftar yang kemudian yang asli harus disegel dan dikirim ke alamat yang
di tuju. Dia juga telah mendirikan diwanulbarid yang memberi tahu
pemerintah pusat tentang apa yang sedang terjadi di dalam pemerintahan
provinsi. Dengan cara ini, Muawiyah melaksanakan kekuasaan pemerintahan pusat.
Pada
679 M, Muawiyah menunjuk puteranya Yazid untuk menjadi penerusnya, serta
memerintahkan berbagai utusan provinsi untuk datang dan mengucapkan baiat. Ketika
itulah ia memperkenalkan sistem pemerintahan turun temurun yang setelah itu
diikuti oleh oleh dinasti-dinasti besar Islam, termasuk dinasti
Abbasiyah.
Pada
perkembangan berikutnya, setiap khalifah mengikuti contoh itu, yaitu menobatkan
salah seorang anak atau kerabat sukunya yang dipandang cakap untuk menjadi
penerusnya, dan memastikan setiap orang menyatakan sumpah setia kepadanya,
diawali dari ibu kota, kemudian diikuti oleh berbagai penjuru kota besar
kerajaan.
C.
Analisis
Bagaimanapun mereka para generasi awal Islam khususnya
para khalifah yang empat adalah orang-orang
yang mempunyai kredibelitas dan integritas pribadinya,
serta loyalitas dan kontribusinya pada Islam tidak perlu diragukan lagi. Akan tetapi
bagaimanapun mereka adalah manusia biasa yang tidak ma’shum, tidak
setiap pribadi masa salaf pada lahirnya
bebas dari kekurangan. Jika seandainya mereka lepas dari kekurangan, maka
bagaimana kita menerangkan berbagai peristiwa pembunuhan dan peperangan
sesama sahabat Nabi sendiri, selang hanya beberapa tahun saja dari wafatnya Beliau,
padahal peperangan itu banyak melibatkan sahabat besar seperti Utsman, Ali,
Aisyah, Amr bin Ash, Abu Musa al-Asy’ari dan lain-lain.
Unsur politik merupakan faktor utama yang berperan
dalam pecahnya persatuan Islam. Ada pihak-pihak tertentu yang gila akan
kekuasaan yang sengaja menghasut para sahabat yang pada akhirnya peperangan
antar sahabat pun tidak dapat dihindari lagi.
Pada saat sekarang ini, para
penguasa juga saling sikut-menyikut dalam mencari kekuasaan. Awalnya mereka
berteman, tetapi setelah tergiur akan kekuasaan, mereka sekarang bermusuhan.
D.
Penutup
Kesimpulan
Khlaifah Ali bin Abi Thalib memerintah kurang
lebih lima tahun (35-40H/656-661M). Berakhirnya kekhalifahan Ali berakhir pula
masa kepepemimpin para
khalifah yang cerdas khulafa’urrasyidin yang empat, dengan sistem pemerintahan yang
demokratis, yang pada waktu itu sulit mencari padanannya di wilayah manapun. Setelah itu, umat
Islam mengalami perubahan dan perbedaan dalam sistem
politik kenegaraanya, dari sistem pemerintahan yang berdasarkan syura’, berubah menjadi bentuk pemimpin yang
tidak dipilih, tetapi berdasarkan penunjukkan yang secara turun temurun (bani/dinasti) atau
berbetuk kerajaan.
Saran
Kekuasaan adalah sesuatu yang sangat
diinginkan bagi tiap individu. Banyak perpecahan yang terjadi akibat dari gila
akan kekuasaan. Berbagai cara dilakukan untuk mendapatkan tersebut, salah
satunya adalah dengan cara politik. Peristiwa-peristiwa di atas adalah beberapa
contoh dimana para sahabat saling berperang karena unsur politik yang besar.
Mudah-mudahn kita dapat mengambil pelajaran dari apa yang sudah dipaparkan,
agar kita tidak terpecah belah, dan kekuatan Islam kembali bersatu.
DAFTAR PUSTAKA
Syukur, Fatah. 2010. Sejarah Peradaban Islam,
Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra
Hassan,
Hassan Ibrahim. 1997. Sejarah dan Kebudayaan Islam (terj. Djahdan Humam),
Yogyakarta
Hudgson,
Marshall GS. 1999. The Venture of Islam, Iman dan Sejarah dalam Peradaban Dunia,
buku pertama (terj. Mulyadhi Kartanegara) Jakarta: Paramadina
Madjid,
Nurcholish, 1992. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina, Cet.
II
Syalabi,
Ahmad, 1992. Sejarah Kebudayaan Islam, Jilid I (terj: Mukhtarv Yahya) Jakarta:
Pustaka al-Husna, cet. VII
0 Response to "Makalah Sejarah Peradaban Islam: SITUASI SOSIAL POLITIK PADA AKHIR KHALIFAH ALI KW. DAN KELAHIRAN DINASTI BANI UMAYYAH"
Post a Comment